Bagaimana Membangun Sebuah Merek Yang Kuat

Dalam dunia bisnis modern, merek yang kuat adalah salah satu syarat utama dari kelangsungan hidup ssebuah bisnis! Bagaimana mungkin sebuah bisnis bisa bertahan dalam persaingan yang begitu ketat tanpa memiliki merek yang kuat?

Merek atau brand sendiri menduduki posisi yang vital, karena dia adalah sebab sekaligus akibat dari sebuah manajemen bisnis dan manajemen marketing. Jika manajemen bisnis dan marketing tidak dilaksanakan secara efektif, maka merek akan melemah. Jika merek melemah, maka daya saing produk yang ditempeli merek itu juga melemah. Implikasinya jelas, pendapatan penjualan menurun, margin juga bisa jadi menipis karena harus menanggung biaya tetap bisnis. Sebagian besar manajer akan menghadapi pilihan yang semakin sempit jika pendapatan penjualan menurun akibat merek yang tidak kompetitif. Sempitnya pilihan-pilihan keputusan manajemen besar kemungkinan akan menyebabkan keputusan turnaround menjadi tidak sinkron dengan pasar. Akibatnya merek semakin melemah lagi. Kita akhirnya memasuki lingkaran setan (vicious circle).

Secara ringkas, membangun merek yang kuat bisa dilakukan dengan menerapkan tiga keunggulan bersaing yang diajukan oleh Tracy and Wiersema :
1. Product leadership
2. Customer intimacy
3. Market leadership

Product leadership berarti produk kita memiliki keunggulan yang nyata dibandingkan kompetitor kita. Ada dua cara memiliki product leadership : (1) menjadi produk yang leading edge  dan truly innovative, dalam arti benar-benar terdepan dan belum ada kompetitor yang memiliki produk seperti yang kita miliki. (2) menjadi produk yang unique, dalam arti tidak selalu berarti lebih unggul dalam kualitas, tetapi bisa memiliki diferensiasi (perbedaan) yang nyata dan berarti dan menjual bagi market segment yang dituju.

Product leadership tidak perlu dikejar di semua atribut atau variabel, karena kita tahu bahwa hal itu sulit dicapai dengan begitu mudahnya kompetitor meniru kualitas dari produk kita, atau sebaliknya, kita meniru kualitas mereka. Tapi yang harus dikejar adalah product leadership yang sulit ditiru. Satu faktor pembeda saja, seringkali itu sudah cukup. Sebagai contoh kali ini, kita angkat kasus industri telepon seluler. Nokia, Sony Ericsson, dan Samsung menerapkan hal ini dengan baik. Ketiganya merupakan pemain di industri masa depan yang menggiurkan, telepon selular. Ketiganya memiliki daya saing yang tinggi, dan dapat diibaratkan selalu saling mengintai satu sama lain dalam persaingan.

Tetapi yang menarik adalah, ketiga brand ini memiliki perbedaan yang khas satu sama lain. Mereka menerapkan product leadership secara dua arah, yaitu leading edge dan unique sekaligus. Nokia memiliki leading edge product dengan telepon genggam seri N92 yang mampu menghantarkan siaran TV. Belum lagi N90 yang memiliki keunggulan desain yang stylish, kamera 3 megapixel dan memori serta teknologi 3G. Unique product leadership diterapkan oleh Nokia dengan fakta bahwa handphone-nya sampai saat ini memiliki menu yang paling mudah digunakan. Dengan dua fakta ini terlihat Nokia mampu mengembalikan pertumbuhannya ke level sebelumnya, saat di mana dia begitu kuat sebelum kehadiran Sony Ericsson dan Samsung di pasar telepon genggam dunia.

Sony Ericsson di lain pihak meluncurkan berbagai seri telepon selular yang begitu leading edge dan begitu inovatif, yang cenderung lebih segmented. Seri PDA-phone yang dimulai dari P800, P900, P910i, dan P990i begitu diminati oleh para pebisnis dan mereka yang mencari sebuah produk yang serba bisa. Saat kemunculannya, seri P800 begitu menggebrak pasar dengan touch screen yang lebar serta kualitas kamera yang jauh di atas para pesaingnya. Sony Ericsson namun memiliki kelemahan, yaitu menu yang lebih sulit diakses oleh pengguna awam. Mereka membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mengoperasikan ponsel-ponsel Sony Ericsson daripada ponsel-ponsel Nokia. Namun kelemahan ini tampaknya tidak menjadikan Sony Ericsson sebagai sebuah brand melemah. Justru, tingkat kesulitan tertentu dari menu Sony Ericsson menguatkan persepsi high-tech, dan bahwa ponsel Sony Ericsson hanyalah untuk mereka-mereka yang techie dan berpikiran maju. Perspesi ini semakin diperkuat pula dengan brand name ”Sony Ericsson” itu sendiri yang menggabungkan kecanggihan teknologi digital Sony dan kehandalan ponsel-ponsel Ericsson di saat brand ini masih bermain di bisnis telepon seluler. Saat ini pula Sony Ericsson semakin menguatkan posisinya sebagai market challenger dengan seri-seri yang diposisikan high-tech seperti M600, W800, P990i, dan W900.

Samsung di lain sisi merupakan produsen ponsel dengan pengalaman yang paling minim. Start-nya sendiri sebenarnya sudah terlambat. Di saat merek-merek seperti Motorola, Ericsson, Nokia menguasai pasar di awal dekade 90-an, merek Samsung belumlah terdengar namanya. Dengan lambat tapi pasti, Samsung mulai di kelas bawah saat itu dengan model-model yang sederhana. Tetapi setelah melalui berbagai research di lab-nya, Samsung adalah salah satu pelopor pertama teknologi ringtone polyphonic. Dengan ukuran file yang kecil, data suara MIDI dapat diringkas hanya menjadi beberapa belas kilobyte dan dapat menghasilkan suara musik yang kencang, jernih dan jelas. Samsung pada awal tahun 1996 begitu intens mengkomunikasikan keunggulan ini kepada pasar, dengan seri-seri ponselnya yang mengangkat tema true polyphonic ringtones. Beberapa tahun terakhir, sejak tahun 2000 ke sini, Samsung juga mengunggulkan inovasinya di bidang teknologi layar, dengan kemampuan teknologi OLED serta UFB yang diluncurkan ke pasar lebih cepat dibandingkan para pesaingnya. Terakhir, Samsung memperkenalkan model terbarunya yaitu I300 dan P300. I300 menawarkan memori internal yang sampai saat ini terbesar dalam sebuah ponsel, yaitu sebesar 4GB. 10 tahun yang lalu, memory sebesar 4GB baru tersedia secara massal dalam harddisk yang terpasang di laptop atau komputer. Namun saat ini memory sebesar itu dapat diperoleh dalam sebuah genggaman ponsel Samsung I300. Sedangkan seri P300 tidak kalah inovatif-nya, menawarkan sebuah ponsel yang berukuran tidak lebih besar dari sebuah kartu kredit!

Pada akhirnya, ketiga brand ini begitu kuat kehadirannya di pasar. Mengapa? Karena mereka mampu menerapkan ketiga pilar membangun merek yang kuat. Baik SonyEricsson, Nokia, maupun Samsung telah berhasil menjadi tiga merek yang kuat di pasaran. Syarat-syarat merek yang kuat yaitu market share dan future value brand yang tinggi, inovasi yang konsisten, dan upaya branding yang kreatif terus menerus dimiliki oleh ketiga brand ini. Yang menjadi menarik bagi kita adalah bagaimana ketiga brand ini mampu bangun menjadi merek-merek raksasa?

Nokia sendiri pada awalnya adalah perusahaan di Finlandia yang bergerak dalam berbagai industri, seperti bisnis pengelolaan kayu, kabel telepon, dan peralatan listrik (?). Lalu memasuki era 90an, Nokia mengembangkan sistem komunikasi seluler yang disebut GSM (Global System of Mobile communication). Ini adalah sebuah langkah strategis bagi Nokia yang tidak hanya menentukan nasib merek itu tetapi juga rule of the game dari industri ponsel dan layanan operatornya hingga saat ini. Gebrakan upaya marketing Nokia sendiri dimulai dengan diluncurkannya Nokia 5110 yang pada saat itu memiliki dimensi layar yang paling lebar dibanding kompetitornya. Kasus Nokia 5110 adalah menarik karena seri ini merupakan seri pertama Nokia yang menerapkan layar lebih lebar dibandingkan kompetitornya. Tampak bahwa selain Nokia kuat dalam komunikasi pemasaran, produknya memang memiliki keunggulan komparatif yang nyata. Tradisi ini terus dipertahankan oleh Nokia, sehingga pertumbuhan dan penguasaan pasarnya terus menjadi yang terdepan, meninggalkan para pesaingnya.

Leave a comment